Komunisme Versus Militerisme di Indonesia

Oleh Chris Woodrich - Karya sendiri, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=30450366

Situsartikel92.com, Peristiwa G30S merupakan puncak dari perseteruan antara TNI-AD dan PKI. Dalam proses penumpasan G30S/PKI, para aktivis PKI telah di tangkap, dibunuh, dan diasingkan. Perlawanan pemuda-pemuda Islam dari unsur NU tergabung dalam Banser, Muhammadiyah dalam Kokam. Saat itu nampak tegar karena mendapat dukungan kekuatan dari militer di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.

Gerakan para pemuda Islam sebagai reaksi atas kekerasan yang dilakukan oleh PKI, pada saat menjelang G30S yang dinamakan aksi sepihak, yaitu para petani merampas tanah milik para pengusaha perkebunan dan para Kyai di pesantren, dengan alasan menegakkan Landreform adalah Undang-Undang Tahun 1962 yang telah melahirkan tragedi pembunuhan di beberapa tempat.

Angin segar bagi perjuangan politik kaum komunis, tetapi sebaliknya merupakan situasi muram bagi kaum militer. Banyak pejabat militer di sudutkan terlibah pelanggaran HAM yang kemudian di adili. Lebih jauh lagi, kaum komunis yang pernah mendekam bertahun-tahun di penjara sebagai tahanan politik orde baru, kini menuntut perlakuan hukum atas pelanggaran HAM yang menimpa diri mereka.

Rival antara militerisme dan komunisme akan terus berlanjut pada pergolakan politik di hari-hari mendatang yang merupakan kelanjutan dari perjuangan ideologis di masa lalu. Keduanya kini tergeser dari peta perpolitikan nasional. Ada sisi yang menarik mengenai kebangkitan gairah baru dari kaum komunis di Indonesia, mereka mendapat perlindungan dan simpati dari Dunia Internasional sejak berkembangnya isu terkait HAM.

Para mantan Tapol PKI, menganggap dirinya sebagai Korban Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965, menuntut balik. Mereka menempatkan dirinya sebagai kaum tertindas, kaum terpinggirkan, kaum terdeskriminasi selama kekuasaan orde baru, hampir empat puluh tahun lamanya. Waktu itu telah terjadi pembantaian massal kaum komunis, penangkapan dan pemenjaraan di berbagai pulau antara lain Pulau Buru, Nusakambangan, Kemarau dan lain-lain. Peristiwa tragis tersebut menurut versi kalangan mantan Tapol PKI di anggap sebagai penjungkirbalikan nilai-nilai peradaban kemanusian.

Laksamana Soedomo selaku Kaskopkamtib, tahun 1977 telah mengeluarkan keputusan untuk membebaskan Tapol PKI Golongan C. Bersamaan dengan hal itu telah berkembang aksi penentangan terhadap pemerintahan Soeharto. Pada saat akan dilangsungkan pemilihan Presiden, masa jabatan Soeharto untuk periode ke tiga kalinya.

Surat Prof. Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey, tertuju kepada Editor Penerbit New York Review of Books, di tulis pada tanggal 9 Februari 1978 yang memperkarakan praktik G30S di Indonesia. Menyatakan bahwa G30S bukanlah sebuah kudeta, melainkan sebagai gerakan pembersihan dalam tubuh TNI-AD.

Lahirlah reaksi keras dari berbagai pihak, ada yang membenarkan logika berpikir dua peneliti Barat tersebut, dan ada pula yang menganggap basis penelitian tersebut kurang data yang tidak bertolak dari kondisi nyata yang terjadi pada waktu kejadian G30S sebagai peristiwa politik dan persaingan ideologi di Indonesia.

Banyak pengamat politik Indonesia menyatakan bahwa keberlangsungan ideologi komunis untuk bisa bangkit kembali sangatlah disangsikan. Terdapat dua sisi yang di anggap tidak relevan untuk mengangkat tema komunisme sebagai ideologi alternatif bagi masyarakat kecil yang berada pada kondisi ekonomi yang makin sulit belakangan ini. 

Pertama, ideologi komunis dianggap sudah mati. Melihat fakta kegagalan negara-negara komunis di dunia yang akhirnya ambruk dan membubarkan diri. Maka gerakan komunis di Indonesia pun dianggap tidak akan laku lagi dan tidak ada kaitannya dengan jaringan Internasional lagi. Maka potensi bahaya PKI dianggap tidak relevan lagi. Kedua, teori Clifford Geertz dan Herbert Faith tentang politik aliran juga di anggap tidak berlaku lagi. Karena kecenderuangan masyarakat sekarang khususnya generasi mudanya tidak mengenal tentang teori aliran ideologi yang pernah hidup di Indonesia.

Hal ini menganggap sejarah pertentangan ideologi dan politik lama tidak relevan lagi untuk di jadikan sebagai basis kajian mutakhir. Dalam perkembangan pemikiran kontemporer, tiap generasi kini dianggap telah menentukan pilihannya sendiri terhadap corak dan gaya politik yang di anutnya.

Dengan adanya dua promis tersebut, akhirnya melahirkan sebuah sikap apatisme yaitu tidak ada lagi gunanya untuk membahas relevansi eksistensi ideologi komunis dan politik aliran di Indonesia. Keduanya di anggap telah usang, kuno dan ketinggalan zaman. Menurut Mochtar Pabottinggi, seorang peneliti LIPI, dulu politik aliran terjadi karena peta politik dunia masih ada blok barat dan blok timur yang komunis. Hal ini mempunyai cetakan di Indonesia karena masih ada komunis. 

Dengan begitu membuat politik aliran bisa terjadi jika ada disiplin ideologis yang ketat, hal itu sekarang sudah tidak ada lagi di Indonesia. Kalau masih ada yang mempermasalahkan politik aliran merupakan tindakan pembodohan rakyat.

Masalah komunis adalah beban sejarah pewarisan masa lalu. Hakikat ideologi akan terus hidup merayap turun-temurun antar generasi sebagai sebuah keyakinan yang terus di perjuangkan oleh para penganutnya. Perjuangan ideologi bukanlah soal politik primordial. Sosok partai politik kini tidak bisa lagi di lihat dari gambaran ideologinya, semuanya hampir sama. Dalam tiap partai hidup banyak ideologi yang di bawa oleh masing-masing individunya yang sama-sama ingin memaksakan diri memperjuangkan kehidupan bernegara.

Kini kehidupan partai politik rentan, mudah pecah, karena di dalamnya bergelora pertarungan antar ideologi. Ada Islamisme yaitu orang-orang islam yang berpandangan ekstrem fanatik yang masih terobsesi dengan memaksakan nilai-nilai kultural dan akidah Islami harus tercermin dalam kehidupan bernegara. Ada Nasionalisme yaitu orang-orang yang memiliki keyakinan bahwa perjuangan yang benar adalah menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme untuk persatuan bangsa dan negara. Ada Militerisme yang membawa nilai-nilai perjuangan untuk menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara secara berdisiplin dan patuh pada aturan ketertiban dan lain-lain. Ada Komunisme yaitu perjuangan kaum komunis, baik mantan eks tapol maupun para anak cucu keluarga eks aktivis PKI di masa lalu, masih menganggap komunisme yang paling tepat untuk menyelamatkan negara dari kesengsaraan rakyat dan sebagainya.

Dari perspektif sejarah ideologis, kelengahan kalangan politisi yang umumnya dari kalangan Islam, sering menciptakan kesempatan baik bagi kebangkitan ideologi lama seperti komunisme yang selama ini terpinggirkan, memiliki peluang untuk menata kembali. Gerakan kaum ideologi komunis yang memiliki beban moral, dendam sejarah, trauma masa lalu yang mengkristal, berpotensi menjadi ancaman bagi gerakan ideologi Islam politik (Islamisme) di masa depan.

Jika artikel ini kurang jelas atau mungkin masih ada pertanyaan yang perlu di tanyakan, anda bisa memberikan pertanyaan pada kolom komentar yang terdapat pada akhir artikel ini. Untuk mudah mendapatkan notifikasi terkait artikel pada situs https://www.situsartikel92.com. Silahkan klik tombol ikuti pada bagian kanan atas dari artikel ini. Karena akan menyajikan berbagai artikel yang menarik.

Posting Komentar

0 Komentar